Selasa, 17 Februari 2009

Displin Kepemimpinan

Saat ini banyak orang berbicara tentang sosok pemimpin ideal, tapi sayang kebanyakan berfokus pada perebutan posisi politik.

Penulis buku ini menegaskan, kepemimpinan bukan persoalan jabatan atau kedudukan formal yang diperebutkan banyak orang.

Sosok pemimpin pada dasarnya terkait dengan keteladanan yang membawa pengaruh kepada lingkungan, sehingga setiap orang

memahami tugas yang harus diembannya demi mewujudkan tujuan bersama.
Istilah pemimpin dalam bahasa Arab ialah Qiyadah, dari akar Qa-id, yakni tiang yang menyangga bangunan atau tongkat yang

menunjukkan arah jalan. Dari istilah sederhana itu tergambar betapa besar peran seorang pemimpin untuk menjaga keutuhan

masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok berbeda kepentingan. Seorang pemimpin sejati mampu mengakomodasi segala

aspirasi yang beragam dan mengarahkan seluruh potensi yang tersebar menuju cita-cita kolektif.
Judul asli buku ini adalah “Al-Qiyadah: al-Asbab ad-Dzatiyah li Tanmiyat al-Qiyadiyah” (faktor-faktor yang inheren untuk

mengembangkan jiwa kepemimpinan). Penulis, Jasim Muhalhil, yang dikenal sebagai penggerak dakwah lintas negara

mengungkapkan seorang pemimpin harus mengenal potensi yang terdapat dalam dirinya, lalu berupaya mengaktualisasikan semua

kebaikan dan menekan keburukan/kelemahan yang ada.
Proses tumbuhnya jiwa kepemimpinan itu mirip dengan perkembangan diri manusia. Ada fase kanak-kanak (marhalah at-Thufulah),

ketika sekelompok orang taat pada figur yang sangat berpengaruh (paternalisme), sehingga hubungan yang terbangun bersifat

patron-klien. Fase berikutnya adalah masa pancaroba (marhalah al-Bulugh) ditandai keinginan untuk berpendapat dan berkreasi

secara bebas. Dan, fase terakhir berupa kondisi kematangan dan kedewasaan (marhalah al-Nudhji), melukiskan kesiapan untuk

memikul beban bersama dan menaati aturan main yang terlembaga.
Lahirnya seorang pemimpin bisa disebabkan penugasan (qiyadah wazhifiyah) atau tuntutan situasi dan kondisi (zharfiyah

mauqufiyah). Namun, yang lebih penting adalah memperhatikan nilai dan karakter (simatiyah) yang harus dibangun dari diri sang

pemimpin. Dengan cukup jeli, penulis menjabarkan hubungan kepemimpinan dan kemampuan manajerial. Empat dimensi manajemen

yang disinggung: perencanaan (takhthith), pengorganisasian (tanzhim), pengawasan (riqabah), dan pengarahan (taujih/direction).
Faktor pelaksanaan atau implementsi kerja (actuating) kurang dibahas. Padahal, itu merupakan titik lemah yang amat kentara.

Banyak pemimpin yang paham nilai normatif atau kerangka konsepsional, namun lemah dalam penerapan kebijakan dan program.

Selain itu, penulis juga menempatkan faktor pengawasan di awal sebagai prioritas, mengapa? Padahal, biasanya controlling atau

monitoring dan evaluating dilakukan di tengah atau ujung proses sebagai umpan balik bagi kebijakan dan progam di masa datang.
Bagian paling menarik ialah resep 10 metoda untuk melejitkan potensi kepemimpinan. Pertama, memperkuat intuisi, kecakapan dan

ketepatan mengambil putusan. Karena itu, kepemimpinan sering didefinisikan sebagai seni mengarahkan orang banyak atau seni

mengambil putusan untuk kebaikan organisasi.
Kedua, menumbuhkan efektivitas pelaksanaan amal bagi para pengikut yang bersamanya. Daya mobilisasi dengan persuasi, bukan

intimidasi atau manipulasi. Faktor yang menumbuhkan sikap dinamis para bawahan atau pengikut antara memberi ilustrasi atau

contoh, menjelaskan fungsi imbalan dan urgensinya.
Ketiga, memperhatikan hukum-hukum kauniyah dan syar’iyah dalam pengelolaan organisasi. Tiga syarat penting perlu dipegang

dalam hal pendayagunaan dan optimalisasi akal untuk pemecahan masalah, menjaga perasaan seseorang bahwa ia memiliki sesuatu

yang bisa diberikan kepada orang lain (empati/kontribusi), dan keyakinan seorang pemimpin dengan impian yang akan diraihnya.
Keempat, pentingnya motivasi seorang qiyadah terhadap para pengikutnya. Kelima, selalu berusaha membuktikan ucapan/instruksi

dengan amal nyata. Keenam, melatih diri dalam membuat perencanaan dan strategi yang baik. Ketujuh, membiasakan upaya

menyelesaikan berbagai problema, jangan menghindar dari masalah, karena hanya akan membuat lemah. Kedelapan, menyiapkan

iklim yang kondusif untuk beraktivitas dan memberi (caring and giving). Kesembilan, selalu berkomunikasi dengan al-Qur’an dan

as-Sunnah sebagai pedoman hidup, merujuk pada sumber nilai tertinggi dalam menghadapi kenyataan yang kompleks. Kesepuluh,

penggunaan bahasa secara baik dalam interaksi keseharian dengan para pengikut dan masyarakat luas.
Pada akhirnya kualitas pemimpin ditentukan sikap disiplin, seperti ditampilkan Syaikh Ali bin Aqil (lahir 431 H), guru dari Imam Ibnul

Jauzi. Ia pernah berkata: “Sungguh saya tidak bisa mentolerir diriku sendiri sekiranya ada satu jam dalam umurku yang tersia-siakan,

sampai lisanku lalai dari belajar dan berdiskusi, pandanganku terlewat dari membaca. Maka, aku harus mengoptimalkan pikiranku

saat beristirahat, kemudian aku tidak akan bangun, melainkan telah terlintas dalam piiranku apa yang akan aku tulis.” Disiplin untuk

mengkomunikasikan ide kepada publik luas, agar kesadaran masyarakat meningkat.
Lebih tegas lagi, pernyataan Umar bin Khathah kepada Mua’wiyah, setelah penaklukan Alexandria, Mesir. Umar berujar: “Sekiranya

aku tidur pada siang hari, pastilah aku telah menyia-nyiakan rakyatku (dari kewajiban pelayanan). Sekiranya aku tidur pada malam

hari, pastilah aku telah menyia-nyiakan diriku sendiri (dari kewajiban beribadah). Karena itu, wahai Mua’wiyah, bagaimana

pendapatmu, jika (ada yang) tidur dalam dua kondisi itu (terus-menerus sian dan -malam)?” Tak ada waktu istirahat untuk pemimpin,

bila semua tugas publik dijalankannya dengan penuh komitmen. Rehatnya adalah masa transisi antara satu tugas menuju tugas lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar